Enrina Diah Nurmeirini merupakan salah satu tim medis dari Indonesia yang baru pulang dari Gaza. Ia bergabung dalam Tim Emergency Medical Team (EMT) ke-5 yang bertugas di RS Indonesia di Gaza selama dua bulan.
Dokter Rina, panggilan akrabnya, merupakan seorang dokter spesialis bedah plastik. Berbeda dengan anggota tim lainnya, dokter Rina langsung berangkat dari Madinah setelah melaksanakan ibadah haji.
“Kalau saya, saya berangkat beda sama tim, karena saya dari Haji terus ke Gaza, jadi lewat Madinah saya,” ujar dokter Rina kepada Republika, Senin (4/11/2024).
Dokter Rina tiba di Yordania pada 26 Juli 2024. Namun, sampai di sana, Rina dan timnya harus menunggu izin masuk dulu dari Koordinator Kegiatan Pemerintah di Wilayah (COGAT), yaitu unit di Kementerian Pertahanan Israel.
Selama sepekan di Yordania, akhirnya izin itu pun keluar. Dokter Rina bersama relawan medis lainnya lalu mempersiapkan semuanya, termasuk alat-alat medis. MER-C juga mengirimkan bantuan makanan untuk warga Gaza.
“Jadi di Yordania saat itu kami berempat. Satu dokter bedah saraf dokter Dani, saya, sama satu dokter anestesi, dokter Laras, dan dokter Maya, dokter penyakit dalam. Kami berempat di sana. Dan di sana itu ada dari orang MER-C juga,” ucap dia.
Untuk masuk ke Gaza, dokter Rina dan rombongannya juga harus menjalani pemeriksaan yang ketat dari tentara Israel. Jumlah uang yang bisa dibawa juga dibatasi serta dilarang membawa alat-alat medis.
“Kita tidak bisa bawa apa-apa selain baju. Katanya cuma bilang boleh bawa stetoskop, tapi karena kami bedah semua kan gak ada gunanya juga. Jadi kita gak bawa apa-apa, saya cuma bawa kacamata bedah untuk membantu operasi,” kata dia.
Dokter Rina dan tim medis MER-C saat itu juga melewati perbatasan bersama rombongan NGO lainnya. Menurut dia, perjalanan dari Yordania ke perbatasan Kerem Shalom saat itu ditempuh kurang lebih satu jam. Setelah itu, rombongan naik bus lagi dari Israel menuju Gaza kurang lebih dua jam.
Setelah tiba di RS Indonesia yang ada di Kegubernuran Gaza Utara, dia pun langsung bertugas merawat pasien yang terkena bom Israel. Awalnya, ia bersama timnya hanya ditugaskan sebulan di sana. Namun, karena banyaknya pasien yang harus dirawat akhirnya diperpanjang hingga dua bulan.
Selama di Gaza, setiap hari ia mendengarkan dentuman bom yang dilancarkan Israel. Namun, dokter Rani tak gentar. Ia telah memantapkan hatinya untuk membantu saudaranya seimannya, dan tawakkal kepada Allah.
“Saya pengen banget itu bisa membantu saudara-saudara kita yang muslim. Terus pas perang ini, panggilannya tuh kuat sekali,” ujar dia.
Sejak dulu, dokter Rina mengaku sudah sering melihat anak-anak Palestina yang menjadi korban, baik di televisi maupun di media sosial. Akhirnya ia pun terpanggil untuk menjadi relawan medis MER-C.
Setidaknya ada 220 pasien yang ditanganinya selama bertugas di RS Indonesia di Gaza Utara, yang mena 50 persennya adalah anak-anak. Saat menangani anak-anak yang terluka, dia pun tak kuasa menahan air mata.
“Ini korbannya anak-anak semua. Kita sedih gitu ya terbayang anak sendiri. Mereka sudah luka-luka terus dengan debu-debu, terus banyak yang orang tuanya juga gak ada. Itu yang benar-benar menguras emosi kita,” ucap dokter Rina.
Dia menambahkan, saat itu di RS Indonedia banyak sekali pasien yang amputasi, cedera patah tulang, dan cedera wajah. Karena itu, semua tim medis bekerjasama sesuai dengan keahliannya.
“Kalau cedera wajah udah pasti saya bisa tangani sendiri. Tapi kalau dia dengan ekstremitas, apalagi dengan cedera lengan, itu biasanya bekerjasama dengan bedah tulang, ortopedi, bedah vaskuler, mereka nyambung pembuluh darah,” kata dia.
Source : republika.co.id
Leave a Reply