Perayaan Natal di Palestina tahun ini hanya sebatas ritual keagamaan, mengingat perang Israel yang masih berlangsung di Jalur Gaza.
“Perayaan Natal di seluruh Tanah Suci hanya akan mencakup ritual keagamaan, seperti yang terjadi tahun lalu,” kata kepala Komite Presiden Tinggi untuk Urusan Gereja Ramzi Khoury dalam sebuah pernyataan, akhir pekan lalu.
Khoury menekankan pentingnya persatuan Palestina di tengah rasa sakit, kesedihan, dan penderitaan yang disebabkan genosida yang dilakukan terhadap penduduk Gaza oleh tentara Israel.
Dia meminta gereja-gereja di seluruh dunia untuk “mengingat dalam doa mereka anak-anak dan perempuan Palestina yang telah terbunuh, terluka, mengungsi, atau hilang, dan mereka yang telah dihalangi sukacita Natalnya oleh mesin perang Israel.”
Khoury menekankan perlunya mendesak upaya serius untuk menghentikan genosida dan mendorong gencatan senjata segera di Gaza.
Perayaan Natal tahun lalu juga dibatasi pada ritual keagamaan karena serangan Israel di Gaza, yang dimulai setelah 7 Oktober 2023.
Umat Kristen Palestina yang mengikuti kalender Barat merayakan Natal pada 25 Desember, sementara mereka yang mengikuti kalender Timur merayakan hari raya tersebut pada 7 Januari.
Hujan deras memperburuk kondisi warga Palestina yang mengungsi di Jalur Gaza di tengah perang mematikan Israel di wilayah tersebut, menurut laporan Layanan Pertahanan Sipil pada Ahad (24/11).
“Hujan telah menyebabkan kerusakan parah pada tenda-tenda yang menampung ribuan pengungsi. Air mengalir masuk ke dalam tenda, merusak barang bawaan dan kasur,” kata juru bicara Mahmoud Basal dalam pernyataan resminya.
“Situasi saat ini mengindikasikan bencana kemanusiaan yang nyata jika tidak ada intervensi segera,” dia memperingatkan.
Sementara itu, hujan deras melanda beberapa wilayah di Jalur Gaza, terutama di bagian tengah dan selatan, pada Ahad (24/11/2024).
Juru bicara tersebut menyerukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan komunitas internasional untuk segera bertindak menyediakan tenda dan karavan bagi warga yang mengungsi di Gaza selama musim dingin.
Israel telah melancarkan perang genosida terhadap Jalur Gaza setelah serangan Hamas tahun lalu, menewaskan lebih dari 44.200 orang, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, serta melukai lebih dari 104.500 lainnya.
Memasuki tahun kedua genosida di Gaza, kecaman internasional terus meningkat, dengan berbagai tokoh dan lembaga menyebut serangan itu serta pemblokiran bantuan sebagai upaya yang disengaja untuk memusnahkan suatu populasi.
Sebelumnya pada Kamis (21/11/2024), Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional atas perang brutalnya di Gaza.
Jalur Gaza telah menjadi “kuburan” bagi anak-anak di tengah serangan tanpa henti Israel terhadap wilayah tersebut, ujar Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) pada Rabu (20/11/2024).
Israel melancarkan perang genosida terhadap Jalur Gaza setelah serangan Hamas tahun lalu, yang menewaskan hampir 44 ribu orang, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, serta melukai lebih dari 104 ribu orang.
“Gaza telah menjadi kuburan bagi anak-anak,” kata Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, dalam sebuah pernyataan untuk memperingati Hari Anak Sedunia.
“Mereka dibunuh, terluka, dipaksa melarikan diri, dan terampas dari rasa aman, kesempatan untuk belajar, dan bermain,” katanya. “Mereka telah dirampas masa kecilnya dan hampir menjadi generasi yang hilang karena mereka kehilangan satu tahun ajaran lagi,” lanjut Lazzarini.
Lazzarini mengatakan bahwa dunia telah berkomitmen untuk menghormati dan menegakkan hak-hak anak dengan mengadopsi Konvensi Hak Anak tiga dekade lalu.
“Hari ini, hak-hak anak Palestina dilanggar setiap hari,” tambahnya.
Unggahan Lazzarini disertai foto dua anak yang tampak lelah di Gaza mengenakan pakaian compang-camping. Gambar tersebut, yang diambil di sekolah yang dijalankan oleh UNRWA yang diubah menjadi tempat penampungan bagi keluarga pengungsi, menggambarkan penderitaan yang dialami anak-anak Palestina karena pendidikan dan keselamatan mereka terganggu oleh perang Israel.
Kepala UNRWA itu juga menyebutkan bahwa anak-anak Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat juga hidup dalam ketakutan dan kecemasan.
“Sejak Oktober tahun lalu, lebih dari 170 orang tewas di sana, sementara yang lainnya kehilangan masa kecil mereka di pusat penahanan Israel. Wilayah Palestina yang diduduki bukan tempat bagi anak-anak. Mereka pantas mendapatkan yang lebih baik, mereka pantas mendapatkan perdamaian, keadilan, dan masa depan yang lebih baik,” tambahnya.
Tahun kedua genosida di Gaza semakin mendapat pengakuan internasional, dengan banyak tokoh dan lembaga yang menyebut peristiwa tersebut sebagai upaya sengaja untuk memusnahkan suatu populasi.
Source : republika.co.id
Leave a Reply